Ekspedisi Pendakian Puncak
Para Dewa
Saya kembali lagi ke Kota Malang. Tujuan
saya kali ini mendatangi Kota Malang adalah untuk mendaki Gunung Semeru. Menurut
saya, kota apel ini seolah menjadi gerbang masuk ke beberapa lokasi menarik
yang harus dikunjungi. Terakhir kali dari kota itu, saya punya pengalaman seru
saat perjalanan ke Gunung Bromo dan berjanji untuk kembali. Meski hanya menumpang
lewat saja, lama-lama saya jatuh cinta juga dengan kota ini.
Dengan jadwal yang sama pada waktu itu,
Kereta Api Matarmaja yang saya tumpangi tiba pagi hari di stasiun Kota Baru,
Malang. Sehabis beberes, mandi dan sarapan pagi. Rombongan kami yang berjumlah
15 orang menyewa angkot dari depan stasiun menuju tempat penyewaan mobil hardtop di daerah pasar Tumpang yang telah kami
pesan sebelumnya.
Bersiap
menuju Pos 1 Ranupani
Ya, dalam beberapa
hari berikutnya, saya dan teman-teman di komunitas Backpacker Indonesia akan
melakukan pendakian ke Gunung Semeru yang merupakan gunung tertinggi di Pulau
Jawa. Tinggi Gunung Semeru yang mencapai 3676 mdpl, sudah cukup membuat jantung
saya berdegub kencang saat membayangkan tingginya.
Ini adalah kali pertama saya mendaki gunung. Perasaan saya
berkecamuk. Dalam hati terus bertanya, apakah saya mampu mendaki hingga
ke Puncak Mahameru? Bahkan seorang senior yang saya ajak ngobrol di Ranu Kumbolo
sempat berkata sinis kepada saya:
“Sekalinya mendaki gunung langsung yang tertinggi di Pulau
Jawa hahaha…”.
Menurut
kamu, saya bakal sampe ke Puncak Mahameru ga?
Menuju Pos 1
Ranupani Gunung Semeru
Lama
perjalanan dari pasar tumpang menuju pos pertama Ranupani sekitar 2 jam lebih
dengan rute menanjak. Memasuki gerbang pertama, kita akan disuguhi pemandangan
jurang nan indah sebelah kanan, dan Bromo disisi kiri. Kami sempat berhenti
untuk istirahat sebentar dan melihat pemandangan disini.
Perjalanan
kami lanjutkan lagi dengan jalan yang terus menanjak. Disisi kiri dan kanan tak
jarang saya melihat ladang-ladang penduduk lokal di lereng bukit yang seolah
tertata sedemikian rupa sehingga terlihat cantik. Seperti lukisan saja.
Awal bulan Mei 2013 waktu itu, banyak
sekali kendaraan baik motor, jeep maupun
truk yang mengantar para pendaki ramai lalu lalang, silih berganti. Saya baru
ingat, ternyata waktu itu sedang long weekend Kenaikan
Isa Almasih. Pantas saja.
Sekitar
pukul 12 siang rombongan kami tiba di Pos Ranupani, pos pertama dalam rangkaian
pendakian Gunung Semeru. Udara dingin mulai begitu terasa, kabut tipis menutup
beberapa bagian. Pos Ranupani berada diketinggian 2100 mdpl.
Di
pos ini, setiap pendaki, harus mendaftar dulu dan melengkapi dokumen-dokumen
persetujuan, fotokopi identitas, check list peralatan rombongan.
Saking
ramenya antrian, dokumen-dokumen baru selesai di proses hingga jam 3 sore.
Pendakian
Gunung Semeru dimulai
Setengah empat sore, kami briefing dan berdoa dulu agar semuanya berjalan
dengan lancar. Perlu diingat bagi pemula, jika sudah merasa lelah agar tidak
ragu untuk mengatakannya.
“Satu saja lelah, semua harus
istirahat”. begitu ujar salah seorang
teman
Selamat
datang para pendaki Gunung Semeru. Estimasi pendakian dari Pos Ranupani menuju
pos Ranu Kumbolo sekitar 5-6 jam. Kami sendiri tidak menargetkan untuk
mencapainya. Jalan santai semampu kita, apalagi kebanyakan adalah pendaki
pemula. Termasuk saya.
Tanjakan pertama kami dapati adalah
setelah gapura ‘Selamat Datang’. Curamnya kemiringan sudah cukup membuat kami
(para pemula) mulai ngos-ngosan kelelahan.
“BREEEEEAK…BREEEEAKK…!! Kita
istirahat dulu sebentar”, teriak
seorang teman saya.
Bulir-bulir
keringat sebesar jagung pun sudah membasahi baju saya. Tiba-tiba saya terbayang
harus melalui medan seperti itu untuk 5 jam kedepan.
“Haduuuh mak”, batin saya. Tapi pendakian harus tetaplah berlanjut.
Dalam dua jam perjalanan kami tetap
‘konsisten’ untuk selalu break,
sedikit-sedikit istirahat, jalan sebentar istirahat lagi hehe.
Pinggul dan pundak sudah nyut-nyutan menahan beban carrier. Tapi setelah itu sudah semakin terbiasa, nafas
sudah semakin teratur dan jarak yang ditempuh pun sudah cukup jauh sebelum
istirahat (lagi). Seandainya saya mengikuti saran teman saya waktu itu agar
rajin berolahraga beberapa minggu sebelumnya, setidaknya jogging tiap pagi.
Penyesalan memang selalu datang terlambat, ya, kalau diawal pendaftaran
namanya.
Malam
menjelang sementara perjalanan kami masih jauh. Kami harus hati-hati dan
waspada jika ada lubang, jalur yang menyempit, akar pohon, dan lainnya dapat
membahayakan. Ketika sudah merasa capek, saya menyemangati diri sendiri
‘bisa..bisa..bisa..’ selangkah demi selangkah. Hanya fokus ke langkah sendiri
dan tidak mau melihat cahaya lampu di seberang gunung sana yang cukup menggoda.
Pukul
9:30 malam, sudah 5 jam berjalan akhirnya kami tiba di Ranu Kumbolo (2400
mdpl).
Di Ranu Kumbolo sudah banyak sekali tenda
berdiri, dan ternyata lebih banyak lagi dekat tanjakan cinta disisi satunya
lagi. Hawa dingin langsung terasa menusuk hingga ke tulang. Beberapa teman
segera mendirikan tenda. Saya tidak ikut membantu khawatir malah jadi perusuh
karena tidak tahu apa-apa tentang tenda, apalagi saya sudah mengigil kedinginan
seperti hampir kena hypotermia.
Saya buru-buru nimbrung dekat api unggun tetangga sebelah untuk
mencari kehangatan. Tempat senior yang tadi berkata sinis.
Ahh..
akhirnya bisa istirahat juga. Niat mau foto keindahan langit malam Ranu Kumbolo
dengan bintang-bintangnya pun urung saya lakukan.
Suasana Pagi
di Ranu Kumbolo
Suasana
pagi di Ranu Kumbolo benar-benar memikat hati saya waktu itu. Langit biru,
kabut dan danau Ranu Kumbolo menjadi satu perpaduan yang pas sambil meneguk
secangkir kopi hangat. Perjalanan beberapa jam dari Ranupani ditambah dengan
penantian malam sangat sepadan buat saya yang baru pertama kali ke Gunung Semeru.
Satu keindahan Gunung
Semeru di danau Ranu Kumbolo ini seolah menambah beberapa bar energi saya.
Perjalanan kedepan masih panjang. Intensitas debu vulkanik Gunung Semeru
semakin terasa saat kami tiba di Kalimati yang berada di ketinggian 2700 mdpl.
Setelah mendirikan tenda, kami harus segera beristirahat untuk memulihkan
tenaga.
Menuju
Puncak Mahameru
Malam yang ditunggu pun tiba, setelah briefing singkat, berdoa dan saling mendoakan,
sekitar jam 11 malam kami memulai jalan menuju Arcopodo diketinggian 2900 mdpl.
Jangan harap lagi ada trek landai apalagi menurun, semuanya menanjak. Jalur
pendakian Mahameru saat itu rame sekali seperti lagi mengantri sembako.
Selangkah demi
selangkah. Meski selangkah saja sudah berat sekali.
Ternyata kami
melakukan kesalahan sangat fatal.
Kami tak membawa
persediaan air minum yang cukup. Hanya 2 botol air minum untuk 15 orang? Saya
sendiri bawa 1 botol minum yang kecil dan itu sudah habis saat baru mulai
menanjak puncak Mahameru.
Naik sepuluh langkah,
istirahat. Naik beberapa langkah, istirahat. Begitu seterusnya. Teman-teman
yang lain pun beberapa sudah tidak kelihatan, ada yang masih ketinggalan
dibawah. Tentu saya tak kesepian karena pendakian begitu ramai.
Ramainya
pendakian Mahameru
Persedian air minum
sudah habis. Disetiap langkah, berdua dengan teman saya mengincar belas kasihan
dari para pendaki yang lagi istirahat sambil minum air.
“Mas, bisa bagi air minumnya?”, tanya saya kepada salah seorang pendaki yang lewat.
“Maaf mas, tinggal sedikit juga”, sahutnya dengan wajah yang kehausan juga. Saya jadi
tidak enak.
Ada yang memberi ada
juga yang ‘meminta maaf’. Saat itu saya berharap ada asongan yang lewat
‘aqua…aqua…aqua… yang haus’.
Hingga berada
diketinggian sekian mdpl, ada seorang ‘mas-mas’ berperawakan lebih tua
yang sengaja saya ‘incar’. Persis berada beberapa langkah didepan saya dan yang
paling penting, dipinggangnya ada BOTOL AQUA 1.5 LITER, dan botolnya FUUUULL
kawan-kawan hahaha.
“Aku harus mendapatkannya”,
batinku dengan semangat.
Tapi, dia belum berhenti
juga. Masa saya harus memanggilnya supaya berhenti menunggu saya? Hingga
akhirnya dia beristirahat dan saya pun hanya berjarak beberapa langkah. YES!!
Saat mas-mas itu duduk
istirahat, saya merasa aneh koq dia tidak minum? Hebat juga dia bisa bertahan begitu.
“Mas, bisa bagi air minumnyakah?”, pintaku dengan memelas mata berkaca-kaca mirip
kucing Garfield saat tiba ditempatnya.
“Bisa sih mas, tapi botolnya terikat di pinggang saya, saya juga
susah minumnya ini”, katanya
lagi. Oalah… pantesan masih penuh saja dari tadi.
Bak pahlawan, saya
memberi botol minuman yang sudah kosong.
“Pakai ini saja, mas!”,
sambil memberikan botol minuman kosong.
Gayung bersambut,
botol saya diisi penuh. Waaaa..girangnya seperti dapat pacar baru #eh.
“Nih, mas minum saja duluan!”,
kata saya menawarinya terlebih dahulu. Kami sudah seperti pasangan homo saja.
Ternyata, ‘kelakuan’
saya ini sudah diperhatikan oleh seorang teman saya. ‘Bob, ada minum? Bagi
dong’. Yaelah, men.
Pendakian terus
berlanjut, capek sudah tidak tahu lagi batasnya dimana. Masih di pertengahan
Mahameru, kami disuguhi pemandangan spektakuler dari terbitnya matahari dan
ternyata sudah pagi. Disana pula pertama kali saya melihat samudera awan
yang luar biasa indahnya.
Memang benar kata
orang, untuk melihat keindahan luar biasa itu, butuh perjuangan yang luar biasa
juga.
Istirahat
sebentar sambil melihat matahari terbit.Cantiknya lautan awan saat fajar
menyingsingPemandangan samudera awan di Puncak Mahameru. Eh, belum puncak
deng…virustraveling di Puncak Mahameru. Eh, belum sampe deeeng.
Saya
Menyerah di Puncak Mahameru
Ya, ending cerita saya ga enak banget.
Saya menyerah sebelum
tiba di Puncak Mahameru.
Jam 9 pagi, sudah
berjalan selama 10 jam dan belum tiba juga di puncak. Air minum habis dan
kepala saya tiba-tiba merasa pusing. Saya merasa sudah sangat kelelahan.
Saya tergeletak di
dekat puncak Mahameru. Teman-teman saya menyemangati untuk terus melanjutkan.
Tapi saat itu saya sudah menyerah. Saya hanya menitipkan kamera saya kepada
Jacky, sahabat saya untuk mengabadikan gambar di puncak sana.
Jacky
yang membawa kamera saya ke Puncak Mahameru.Pemandangan yang dinanti di Puncak
Mahameru
Saat itu saya merasa
bahwa itulah batas saya. Saya beristirahat sejenak menghilangkan pusing dan
memikirkan jalan turun kebawah. Karena jalan turun ternyata tak semudah yang
saya bayangkan. Salah-salah, saya bisa masuk jalur ’75’ yang terkenal keramat
merenggut nyawa pendaki. Saat turun, saya salah menginjakkan kaki dengan tepat
sehingga menyebabkan persendian saya cedera, nyeri yang sayabawa hingga pulang
ke Jakarta.Teman seperjalanan yang menyenangkan Meski begitu, pengalaman
mendaki Gunung Semeru ini menjadi pengalaman yang tak terlupakan seumur
hidup saya. Bertemu dengan sahabat-sahabat yang baik hati. Pengalaman yang begitu
berbekas dihati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar